HOTEL Timika Indah
HOTEL Timika Indah Tinggal bersama kami, serasa di rumah sendiri jl. A. Yani, Kebun sirih, Timika-Papua, Indonesia Reserv.: 081240012345, email; vincentdepan@yahoo.com Fasilitas; - Kamar AC - Air panas - TV Channels - Ruang pertemuan max. 200 orang - Coffeshop - Free Breakfast - Wi Fi, free
Selasa, 13 November 2012
Patung MOZES KILANGIN diresmikan
Patung Uru Meiki atau Sang Guru Besar, Mozes Kilangin, pagi ini 02 November 2012, telah resmi berdiri gagah manatap setiap orang yang memasuki Bandar udara Mozes Kilangin Timika. Diiringi rintik hujan, antusias dari masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat kab. Mimika ikut memeriahkan acara pembukaan selubung Patung Tokoh masyarakat Amungme, sang "Pecinta Damai", sebagaima terpampang pada kaos yang dibagikan panitia dan dipakai para undangan.
Patung setinggi lebih dari 2meter ini terbuat dari bahan tembaga bercampur perunggu di bentuk oleh sentuhan pakar anak bangsa seniman besar Maestro Nyoman Nuarta .
Pembukaan selubung sebagai simbol resminya patung ini berdiri, dilakukan oleh Sekda Kab. Mimika. didampingi oleh Uskup Timika, Petinggi PT. Freeport Indonesia, KAPOLRES Mimika, dan para Tokoh dan tentu saja Keluarga besar Kilangin.
Dalam sambutannya, P. Yopi Yosep Kilangin, mewakili keluarga besar Mozes Kilangin, manyampaikan bahwa "Patung dan semangat sang "pecinta damai" Mozes Kilangin ini telah menjadi milik dan kebanggaan masyarakat kab. Mimika.
Semoga semangat damai, membangun, dan mendidik tampa pamrih dari Mozes Kilangin senantiasa menjadi suri tauladan bagi masyarakat umumnya ,khusunya kita di kab. Mimika.
Kamis, 21 April 2011
Kuala Kencana adalah sebuah distrik di Kabupaten Mimika, Papua, Indonesia. Diresmikan pada 5 Desember 1995 oleh Presiden Soeharto, distrik ini dikelola sepenuhnya oleh PT. Freeport Indonesia. Kuala Kencana merupakan kota pertama di Indonesia yang memiliki sistem saluran air kotor yang lalu disalurkan ke pusat pengelolaan limbah. Terdapat tiga kompleks pemukiman di Kuala Kencana: RW A atau Bumi Satwa Indah, RW B atau Tirta Indah, dan yang terakhir adalah Bachelor's Quarter.
Suku Amungme
Orang Amungme memang orang gunung (High-Land) yang tidak bisa dilepaskan dari gunung, hutan, sungai dan tanah. Bagi orang Amungme tanah mempunyai arti begitu menyatu dan mendalam dengan kehidupan lahir batinnya dan mengidentifikasikan tanah sama dengan ibunya. ORANG Amungme adalah pejalan kaki tangguh. Mereka terbiasa naik turun gunung sambil membawa beban. Alam sudah membentuk otot kaki mereka menjadi kuat. Saat menempuh perjalanan mereka hanya membawa wi (tas) berisi rokok, pisau dan ubi.
Suku Amungme adalah bagian dari suku bangsa di Papua yang mendiami beberapa lembah luas di kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-gunung tinggi yaitu lembah Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah Bella, Alama, Aroanop, dan Wa. Sebagian lagi menetap di lembah Beoga (disebut suku Damal, sesuai panggilan suku Dani) serta dataran rendah di Agimuga dan kota Timika.
Secara harafiah Amungme terdiri dari dua kata yang memiliki makna berbeda yaitu "amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia, menurut legenda yang diwariskan turun temurun, konon orang Amungme berasal dari derah Pagema (lembah baleim) Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme mendirikan honey dari alang-alang.
Orang Amungme percaya bahwa mereka adalah keturunan pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju abadi yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih). Orang Amungme berasal dari suku Damal, keluarga besar eogam-e, anak sukunya adalah suku Delem yang hidup di sepanjang sungai Memberamo.
Tingkah laku dan watak orang Amungme identik dengan alamnya, mereka menggangap dirinya penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa dari tangan Nagawan Into (Tuhan). Kerasnya alam pegunungan telah membentuk karakter masyarakat Amungme menjadi keras, non kompromi, fair dan gentlemen serta selalu melakukan tindakan preventif dalam segala aktifitas.
Bahasa daerahnya ada dua yaitu Amung-kal yang digunakan oleh orang Amungme yang hidup disebelah selatan dan Damal-kal untuk orang Amungme yang hidup di sebelah utara, selain itu suku Amungme juga memiliki bahasa simbol yang berbeda dengan bahasa komunikasi sehari-hari yaitu Aro-a-kal adalah jenis bahasa simbol yang paling sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal sebagai jenis bahasa simbol yang hanya diucapkan sewaktu berada di wilayah tertentu yang dianggap keramat.
Konsep mengenai tanah, manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang intergral dalam kehidupan sehari-hari. Tanah digambarkan sebagai figure seorang ibu yang memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu dan pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur sehingga ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat keramat. Magaboarat Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan mereka), demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka.
Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.
Kontak pertama dengan dunia luar terjadi pada tahun 1936 ketika ekpedisi Carstensz yang pimpinan Dr.Colijn cs, melalui misi katolik pada 1954 yang dipimpin oleh Pastor Michael Cammerer dibantu penduduk lokal bernama Moses Kilangin dan pemerintah Belanda, sebagian besar masyarakat Amungme dipindahkan ke daerah pesisir, di Akimuga sampai saat ini, alasan pemindahan disebabkan proses penyebaran agama dan pelayanan terhadap masyarakat Amungme tidak mungkin dilakukan di daerah pegunungan.
Sebagai warga suku Amungme telah menetap di kota Timika dan sekitaranya karena proses permukiman kembali oleh PT. Freeport Indonesia (PTFI), selain larangan membuka perkampungan di dekat lokasi penambangan menyebabkan mereka bermigrasi ke Timika sebagai alternatif mencari pekerjaan. Penduduk Amungme khususnya yang berasal dari pegunungan Jayawijaya, telah mendapatkan fasilitas perumahan serta lahan perkebunan dari PTFI. Namun banyak pula yang akhirnya memilih tetap tinggal di kampung-kampung di sekitar pertambangan, yakni Kampung Banti, Waa, Tsinga, Arwanop
Umumnya suku Amungme telah menggunakan uang tukar resmi (rupiah) sebagai alat jual-beli, tidak lagi menggunakan sistem barter. Barang-barang yang dijual masih sangat terbatas, seperti: makanan pokok; petatas, keladi, umbi-umbian, minyak goreng, sayur-mayur, alat jahit-menjahit sederhana, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari lainnya seperti garam, sabun dan rokok.
Saat ini budaya barter maupun alat tukar eral sudah tidak pernah lagi digunakan oleh sebagian besar suku Amungme yang tinggal di perkotaan atau berdampingan dengan budaya kota. Berbeda dengan masyarakat suku Amungme yang tinggal di pedalaman bagian Utara, yaitu di daerah pegunungan masih menggunakan eral.
Eral sendiri adalah sistem tukar - menukar barang dengan alat tukar sah yang diakui masyarakat Amungme, berupa kulit bia (siput). Kulit bia ini diperoleh dengan tukar-menukar barang dengan masyarakat yang tinggal di pantai. Setelah kulit bia diperoleh, mereka membawa pulang ke tempat tinggalnya di pedalaman dan membentuknya menjadi alat tukar suku.
Mata pencaharian suku Amungme umumnya berburu karena ditunjang faktor alam dengan berbagai jenis flora yang tumbuh lebat dan terdapat berbagai jenis fauna seperti babi hutan, burung kasuari, burung mambruk, kakaktua, dll, bertani dan bercocok tanam serta beternak, banyak di antara mereka telah bekerja di kota sebagai pedagang, pegawai maupun karyawan swasta. *
(WWW.lpmak.org)
Selasa, 19 April 2011
MATOA ,buah khas Mimika, Papua
Matoa (Pometia Pinnata) adalah tanaman khas Papua, termasuk famili Sapindaceae (keluarga rambutan-rambutanan), buahnya berbentuk bulat lonjong seukuran buah pinang, kalau mentah kulitnya berwarna hijau kalau mateng hijau agak kekuningan, kulitnya agak keras gitu. Rasanya rame.. menurut saya sih lebih mirip rasa durian.. padahal penampakan daging buahnya seperti kelengkeng atau leci,, manis rasanya.
Merupakan buah khas Papua, tergolong pohon besar dengan tinggi rata-rata 18 meter dengan diameter rata-rata maksimum 100 cm. Umumnya berbuah sekali dalam setahun. Berbunga pada bulan Juli sampai Oktober dan berbuah 3 atau 4 bulan kemudian.
Buah Matoa merupakan buah dengan kombinasi rasa yang begitu unik. Rasa rambutan, kelengkeng dan durian campur menjadi satu dalam daging buah yang kesat seperti rambutan. Sungguh buah yang unik.
Rasa buahnya “ramai”, dan susah didefinisikan, seperti antara rasa buah leci dan buah rambutan. Ada juga yang merasakannya sangat manis seperti buah kelengkeng. Ada yang bilang manis legit. Ada lagi yang merasakan aromanya seperti antara buah kelengkeng dan durian. Pendeknya, buah matoa berasa enak, kata mereka yang suka.
Mimika, Geografis dan Penduduk
Kabupaten Mimika sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Paniani dan Puncak Jaya, sebelah Selatan Laut Arafuru, sebelah Timur Kabupaten Merauke dan sebelah Barat Kabupaten Fakfak. Geografis, Kabupaten Mimika terletak antara 134°31’ - 138°31’ Bujur Timur dan 4°60’-5°18’ Lintang Selatan. Memiliki Luas wilayah 19.529 km2 atau 4,75% dari luas wilayah Provinsi Papua. Wilayah Kabupaten Mimika berbatasan langsung dengan Kabupaten Paniai, Dogiyai, dan Deyai di sebelah utara, Kabupaten Kaimana di sebelah Barat, Kabupaten Asmat dan Yahukimo di sebelah Timur, dan laut Arafuru di sebelah selatan. Kabupaten
Mimika berdiri tahun 2000. AWALNYA Mimika merupakan sebuah kecamatan dari wilayah administrasi Kabupaten Fakfak, berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1996, Kecamatan Mimika ditetapkan sebagai Kabupaten Administratif, kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, Mimika menjadi Kabupaten Otonom. Saat ini Mimika terdiri dari 12 Distrik/Kecamatan. Distrik tersebut adalah : Distrik Mimika Baru, Kuala Kencana, Tembagapura, Mimika Timur, Mimika Timur Jauh, Mimika Tengah, Mimika Barat, Mimika Barat Tengah, Mimika Barat Jauh, Agimuga, Jila dan Jita.
Penduduk Kabupaten Mimika
Kabupaten Mimika yang terdiri dari 12 Dsitrik berdiri pada tahun 2000. Sebelumnya Kabupaten ini merupakan bagian dari Kabupaten Fak-Fak, Propinsi Papua barat. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Mimika (angka sementara) adalah 183.633 jiwa yang terdiri atas 103.809 laki-laki dan 79.824 perempuan. Dari hasil SP 2010 tersebut Distrik Mimika Baru, Kuala Kencana, dan Tembagapura merupakan 3 Distrik dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu masing-masing berjumlah 119.921 jiwa, 18.734 jiwa, dan 16.477 jiwa. Distrik dengan jumlah penduduk terkecil adalah Distrik Agimuga dengan jumlah penduduk 822 jiwa.
Perbandingan laki-laki dan perempuan atau sex ratio di Kabupaten Mimika adalah sebesar 130,5 persen. Angka sex ratio paling tinggi terdapat di Distrik Tembagapura yaitu 394.80, hal ini dikarenakan di Distrik Tembagapura terdapat 15.806 karyawan PT. Freeport Indonesia dan 99,76 persennya berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan angka sex ratio paling rendah terdapat di distrik Mimika Barat Tengah yaitu 105.61 persen. Secara keseluruhan angka sex ratio di seluruh distrik berada di atas angka 100 persen, yang artinya jumlah penduduk laki-laki di semua distrik lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk perempuan.
Dari hasil SP2010 diketahui laju pertumbuhan penduduk sebesar 4 persen per tahun. Distrik yang laju pertumbuhan penduduknya tertinggi adalah distrik Agimuga yakni 9 persen per tahun dan yang mengalami penurunan jumlah penduduk paling besar adalah distrik Mimika barat Jauh yakni 4 persen per tahun.
Dengan luas wilayah 19.592 Km2 yang didiami 183.633 jiwa, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Mimika sebesar 9.37 jiwa/Km2. Distrik yang paling tinggi tingkat kepadatannya adalah distrik Mimika Baru yaitu 54.12 jiwa /Km2, sedangkan yang paling rendah adalah Distrik Agimuga yaitu sebesar 0.46 jiwa/Km2..
Mimika didiami oleh 7 suku, dua diantaranya suku asli, yaitu suku Amungme yang mendiami wilayah pegunungan dan suku Kamoro di wilayah pantai. Selain kedua suku tersebut masih ada lima suku kekerabatan lainnya, yaitu:
- Suku Dani (Lani)
- Suku Damal
- Suku Mee
- Suku Nduga
- Suku Moni
- Moto Daerah Kabupaten Mimika adalah "EME NEME YAUWARE" yang berarti "BERSATU, BERSAUDARA KITA MEMBANGUN". Moto tersebut merupakan penggabungan 2 bahasa dari 2 suku besar penduduk asli Kabupaten Mimika yakni Suku Amungme dan Suku Kamoro.
- EME artinya : Teman (bahasa Suku Amungme)
- NEME artinya : Berteman/bersaudara (bahasa Suku Amungme
- YAUWARE artinya : Semangat (bahasa Suku Kamoro)
Honai, hunian tradisional Papua
Honai adalah rumah khas Papua yang dihuni oleh Suku Dani. Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela. Sebenarnya, struktur Honai dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.
Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun 2 lantai, Honai memiliki tinggi kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).
Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang.Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu
Taman Nasional Lorentz
Taman Nasional Lorentz adalah sebuah taman nasional yang mencakup 2,5 juta hektar atau mencapai 25.000 km ² dan merupakan taman nasional terbesar di Asia Tenggara. Secara administratif, Taman Nasional Lorentz, terletak diKabupaten Paniai Jayawijaya, Mimika dan Kabupaten Kabupaten Merauke,Provinsi Papua, Negara Indonesia.
Sebagian besar Taman Nasional Lorentz masih merupakan hutan perawan yang belum terganggu keaslian alamnya, selain Taman Nasional Lorentz terdiri atas lembah dengan lereng curam dan terjal, dengan ketinggian antara 2.000 sampai 6.000 meter di atas permukaan laut, Puncak Jaya merupakan yang tertinggi .
Taman Nasional Lorentz merupakan perwakilan dari ekosistem terlengkap untuk keaneka ragaman hayati di Asia Tenggara dan Pasifik. Taman Nasional Lorentz merupakan satu di antara tiga wilayah di dunia dengan gletser di daerah tropis,membentang dari puncak gunung (5030 meter di atas permukaan laut) yang diselimuti oleh salju hingga membujur ke perairan pesisir dengan hutan mangrovedan berbatasan dengan Laut Arafura.
Taman Nasional Lorentz memiliki keaneka ragaman hayati yang tinggi dan keaneka ragaman budaya juga sangat mengagumkan. Diperkirakan bahwa ada budaya daerah ini hidup berusia 30.000 tahun dan merupakan tempat tinggal suku-suku di Papua Barat adalah Dani, Asmat, Amungme, Nduga, dan Sempan.
Diperkirakan bahwa ada kelompok yang terisolasi , suku yang tinggal dihutan yang belum mengadakan hubungan dengan masyarakat modern. Pada tahun 1999, taman dinyatakan oleh PBB (United Nations) sebagai Situs Warisan Dunia yangmemiliki 43 jenis ekosistem serta daerah tropis yang memiliki gletser.
Langganan:
Postingan (Atom)