Selasa, 19 April 2011

Sagu

Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat di Maluku dan Papua yang tinggal di pesisir. Sagu banyak ditemukan di pasar tradisional , dimakan dalam bentuk papeda, semacam bubur, atau dalam bentuk-bentuk yang lain. Sagu sendiri dijual sebagai tepung curah maupun yang dipadatkan dan dikemas dengan daun pisang. Selain itu, saat ini sagu juga diolah menjadi mi dan mutiara.
Masyarakat Papua tidak lepas dari sagu. Sebab, bahan makanan yang berasal dari tanaman keras ini memunyai peran sosial dan ekonomi. Budaya sagu Papua juga tidak lepas dari budaya leluhurnya. Bahkan dulu, untuk menokok sagu diawali dengan upacara penghormatan kepada nenek moyang. Hal ini agar hasil yang didapat merupakan sari sagu yang bagus dan memberi kesehatan warga.

Diperkirakan, sedikitnya terdapat ratusan ribu hektare lahan sagu tersebar mulai dari Bintuni, Mimika, Merauke, Waropen, Membramo, hingga Sentani. Tidak pelak, bila Papua merupakan provinsi penghasil sagu terbesar di Indonesia, bahkan terluas di dunia. Luas lahan sagu menghampar seluas 771.716 hektare atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional.

Masyarakat Papua mengenal budidaya sagu secara turun-temurun. Hal tersebut meliputi pemilihan bibit, teknik penanaman, dan pengolahan hasil. Meski budidaya sagu masih bersifat konvensional yang mengandalkan kondisi alam, termasuk pada pengolahan hasil yang masih mengutamakan tenaga manusia.
Usia panen sagu terbilang pendek. Pada usia tanam dua hingga tiga tahun, sari patinya sudah dapat diambil. Sari pati tersebut berupa tepung berwarna putih. Lalu, biasanya, masyarakat Papua memadatkannya dan disimpan di dalam keranjang agar tahan lama. Setiap keranjang mampu menyimpan hingga 30 kilogram sagu. Proses menebang sampai mendapatkan pati sagu memerlukan waktu maksimal sepekan. Tergantung keterampilan masing-masing orang Papua.

Biasanya yang mencari sagu dan memasaknya adalah tugas kaum perempuan. Sebab dipandang tidak membutuhkan tenaga dan fisik ekstra. Apalagi mencari sagu di Papua tidaklah sulit. Sedangkan kaum pria bertugas mencari lauk sagu dengan menangkap hewan atau menombak dan menjaring ikan di hutan mangrove.

Setelah ditemukan, pohon sagu pun ditebang. Proses tersebut biasanya menghabiskan waktu sekitar satu jam. Kemudian menguliti batangnya sehingga mendapatkan sagu yang berada di dalam pohon. Bagian ini lalu diambil dan ditumbuk.

Cara menumbuknya menggunakan pangkur. Bentuknya mirip cangkul. Hanya saja, pada bagian ujungnya seperti tombak, melancip, dan lebih kecil. Proses menumbuk sagu ini sesuai nama alat yang dipergunakan, yakni memangkur. Hasilnya, sagu tersebut mirip ampas kelapa.

Lalu sagu dikumpulkan ke dalam sebuah wadah bambu yang sudah dibelah. Sagu selanjutnya dicampur air, lalu diperas. Air perasan inilah yang mengandung inti sagu. Selanjutnya, air perasan dibiarkan beberapa saat supaya inti sagu mengendap di dasar wadah. Perubahan warna air perasan dari putih menjadi jernih, pertanda inti sagu telah mengendap dan terpisah dari air.

Air kemudian pun dibuang. Sedangkan inti sagu dibentuk seperti bola tenis. Ada juga yang dibentuk memanjang mirip lontong. Sagu-sagu itu lalu mereka letakan dan bawa dengan tumang, keranjang yang terbuat dari rotan.

Sagu pun siap dimasak dengan cara dibakar. Sagu akan terasa lebih nikmat jika dimakan bersama sayuran jamur yang berasal dari ampas remasan sagu yang sudah busuk. Dari satu pohon sagu dapat dikonsumsi oleh 10 orang selama dua hingga tiga pekan. Bahkan, ada yang sampai satu bulan.mer/L-4 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar